Selasa, 5 Oktober 2010

3. CONTOH-CONTOH KERAJAAN ISLAM DI ALAM MELAYU

3.  CONTOH-CONTOH KERAJAAN ISLAM DI ALAM MELAYU

                Kerajaan Islam di Alam Melayu atau juga dikenali sebagai nusantara dikatakan berlangsung antara abad ke-13 hingga keabad ke-16. Timbulnya kerajaan-kerajaan tersebut didorong oleh kemajuan perdagangan laut dengan pedagang-pedagang Islam dari Arab, India, Persia, Tiongkok, dan lain-lain. Kerajaan tersebut dapat dibagi menjadi berdasarkan wilayah pusat pemerintahannya.
3.1  KERAJAAN KESULTANAN MELAYU MELAKA
                 Parameswara pada awalnya menjadi raja di Singapura pada tahun 1390-an. Negeri ini kemudian diserang oleh Jawa dan Siam, yang memaksanya pinda lebih ke utara. Kronik Dinasti Ming mencatat Parameswara telah tinggal di ibukota baru di Melaka pada 1403, tempat armada Ming yang dikirim ke selatan menemuinya. Sebagai balasan upeti yang diberikan Kekaisaran Cina menyetujui untuk memberikan perlindungan pada kerajaan baru tersebut.
               Parameswara kemudian menganut agama Islam setelah menikahi putri Pasai. Laporan dari kunjungan Laksamana Cheng Ho pada 1409 menyiratkan bahwa pada saat itu Parameswara masih berkuasa, dan raja dan rakyat Melaka sudah menjadi muslim.. Pada 1414 Parameswara digantikan putranya, Megat Iskandar Syah.
          Megat Iskandar Syah memerintah selama 10 tahun, dan digantikan oleh Muhammad Syah. Putra Muhammad Syah yang kemudian menggantikannya, Raja Ibrahim, tampaknya tidak menganut agama Islam, dan mengambil gelar Seri Parameswara Dewa Syah. Namun masa pemerintahannya hanya 17 bulan, dan dia mangkat karena terbunuh pada 1445. Saudara seayahnya, Raja Kasim, kemudian menggantikannya dengan gelar Sultan Mudzaffar Syah.
            Di bawah pemerintahan Sultan Mudzaffar Syah Melaka melakukan ekspansi di Semenanjung Malaya dan pantai timur Sumatera (Kampar dan Indragiri). Ini memancing kemarahan Siam yang menganggap Melaka sebagai bawahan Kedah, yang pada saat itu menjadi vassal Siam. Namun serangan Siam pada 1455 dan 1456 dapat dipatahkan.
       Di bawah pemerintahan raja berikutnya yang naik tahta pada tahun 1459, Sultan Mansur Syah, Melaka menyerbu Kedah dan Pahang, dan menjadikannya negara vassal. Di bawah sultan yang sama Johor, Jambi dan Siak juga takluk. Dengan demikian Melaka mengendalikan sepenuhnya kedua pesisir yang mengapit Selat Malaka.
         Mansur Syah berkuasa sampai mangkatnya pada 1477. Dia digantikan oleh putranya Alauddin Riayat Syah. Sultan memerintah selama 11 tahun, saat dia meninggal dan digantikan oleh putranya Sultan Mahmud Syah.
Mahmud Syah memerintah Malaka sampai tahun 1511, saat ibu kota kerajaan tersebut diserang pasukan Portugis di bawah pimpinan Alfonso de Albuquerque. Serangan dimulai pada 10 Agustus 1511 dan berhasil direbut pada 24 Agustus 1511. Sultan Mahmud Syah melarikan diri ke Bintan dan mendirikan ibukota baru di sana. Pada tahun 1526 Portugis membumihanguskan Bintan, dan Sultan kemudian melarikan diri ke Kampar, tempat dia wafat dua tahun kemudian. Putranya Muzaffar Syah kemudian menjadi sultan Perak, sedangkan putranya yang lain Alauddin Riayat Syah II mendirikan kerajaan baru yaitu Johor.

3.2  KERAJAAN KESULTANAN JOHOR

           Kesultanan Johor yang kadang-kadang disebut juga sebagai Johor-Riau atau Johor-Riau-Lingga adalah kerajaan yang didirikan pada tahun 1528 oleh Sultan Alauddin Riayat Syah, putra sultan terakhir Melaka, Mahmud Syah. Sebelumnya daerah Johor-Riau merupakan kesinambungan  dari Kesultanan Melaka yang runtuh akibat serangan Portugis pada 1511.
      Pada puncak kejayaannya Kesultanan Johor-Riau mencakupi wilayah Johor sekarang, Pahang, Selangor, Singapura, Kepulauan Riau, dan daerah-daerah di Sumatera seperti Riau Daratan dan Jambi.
       Sebagai membalas jasa atas bantuan merebut takhta Johor Sultan Hussein Syah mengizinkan Britania pada 1819 untuk mendirikan tapak di Singapura. Dengan ditandatanganinya Perjanjian London tahun 1824 Kesultanan Johor-Riau dibahagi kepada dua menjadi Kesultanan Johor, dan Kesultanan Riau-Lingga. Pada tahun yang sama Singapura sepenuhnya berada di bawah kendali Britania. Riau-Lingga dihapuskan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1911.
3.3  KERAJAAN PASAI
       Kerajaan ini didirikan oleh Sultan Malik Al-saleh dan sekaligus sebagai raja pertama pada abad ke-13. Kerajaan Samudera Pasai terletak di sebelah utara Perlak di daerah Lhok Semawe sekarang (pantai timur Aceh).
     Sebagai sebuah kerajaan, raja silih berganti memerintah di Samudra Pasai. Raja-raja yang pernah memerintah Samudra Pasai adalah seperti berikut.
(1)   Sultan Malik Al-saleh berusaha meletakkan dasar-dasar kekuasaan Islam dan berusaha mengembangkan kerajaannya antara lain melalui perdagangan dan memperkuat angkatan perang. Samudra Pasai berkembang menjadi negara maritim yang kuat di Selat Malaka.
(2)   Sultan Muhammad (Sultan Malik al Tahir I) yang memerintah sejak 1297-1326. Pada masa pemerintahannya Kerajaan Perlak kemudian disatukan dengan Kerajaan Samudra Pasai.
(3)   Sultan Malik al Tahir II (1326 – 1348 M). Raja yang bernama asli Ahmad ini sangat teguh memegang ajaran Islam dan aktif menyiarkan Islam ke negeri-negeri sekitarnya. Akibatnya, Samudra Pasai berkembang sebagai pusat penyebaran Islam. Pada masa pemerintahannya, Samudra Pasai memiliki armada laut yang kuat sehingga para pedagang merasa aman singgah dan berdagang di sekitar Samudra Pasai. Namun, setelah muncul Kerajaan Malaka, Samudra Pasai mulai memudar. Pada tahun 1522 Samudra Pasai diduduki oleh Portugis. Keberadaan Samudra Pasai sebagai kerajaan maritim digantikan oleh Kerajaan Aceh yang muncul kemudian.
          Catatan lain mengenai kerajaan ini dapat diketahui dari tulisan Ibnu Battuta, seorang pengelana dari Maroko. Menurut Battuta, pada tahun 1345, Samudera Pasai merupakan kerajaan dagang yang makmur. Banyak pedagang dari Jawa, Cina, dan India yang datang ke sana. Hal ini mengingat letak Samudera Pasai yang strategis di Selat Malaka. Mata wangnya wang emas yang disebur deureuham (dirham).
     Di bidang agama, Samudera Pasai menjadi pusat pengajian Islam. Kerajaan ini menyiarkan Islam sampai ke Minangkabau, Jambi, Malaka, Jawa, bahkan ke Thailand.

3.4   KERAJAAN ACEH
     Kerajaan Islam berikutnya ialah Kerajaan Aceh. Kerajaan yang didirikan oleh Sultan Ibrahim yang bergelar Ali Mughayat Syah (1514-1528), menjadi penting kerana mundurnya Kerajaan Samudera Pasai dan berkembangnya Kerajaan Malaka. Para pedagang kemudian lebih sering datang ke Aceh.
          Pusat pemerintahan Kerajaan Aceh ada di Kutaraja (Banda Acah sekarang). Corak pemerintahan di Aceh terdiri atas dua sistem: pemerintahan sipil di bawah kaum bangsawan, disebut golongan teuku; dan pemerintahan atas dasar agama di bawah kaum ulama, disebut golongan tengku atau teungku.
         Sebagai sebuah kerajaan, Aceh mengalami masa maju dan mundur. Aceh mengalami kemajuan pesat pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607- 1636). Pada masa pemerintahannya, Aceh mencapai zaman keemasan. Aceh bahkan dapat menguasai Johor, Pahang, Kedah, Perak di Semenanjung Melayu dan Indragiri, Pulau Bintan, dan Nias. Di samping itu, Iskandar Muda juga menyusun undang-undang tata pemerintahan yang disebut Adat Mahkota Alam.
         Setelah Sultan Iskandar Muda, tidak ada lagi sultan yang mampu mengendalikan Aceh. Aceh mengalami kemunduran di bawah pimpinan Sultan Iskandar Thani (1636- 1641). Dia kemudian digantikan oleh permaisurinya, Putri Sri Alam Permaisuri (1641- 1675). Sejarah mencatat Aceh makin hari makin lemah akibat pertikaian antara golongan teuku dan teungku, serta antara golongan aliran syiah dan sunnah sal jama’ah. Akhirnya, Belanda berhasil menguasai Aceh pada tahun 1904.
         Dalam bidang sosial, lokasinya yang strategik di titik pertengahan jalur perdagangan antarabangsa di Selat Malaka menjadikan Aceh makin ramai dikunjungi pedangang Islam.
Terjadilah asimilasi baik di bidang sosial mahupun ekonomi. Dalam kehidupan bermasyarakat, terjadi perpaduan antara adat istiadat dan ajaran agama Islam. Pada sekitar abad ke-16 dan 17 terdapat empat orang ahli tasawuf di Aceh, yaitu Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumtrani, Nuruddin ar-Raniri, dan Abdurrauf dari Singkil.
     Dalam kehidupan ekonomi, Aceh berkembang dengan pesat pada masa kejayaannya. Dengan menguasai daerah pantai barat dan timur Sumatra, Aceh menjadi kerajaan yang kaya akan sumber daya alam, seperti beras, emas, perak dan timah serta rempah-rempah.
3.5  KERAJAAN DEMAK DAN KERAJAAN PAJANG
        Demak adalah kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Kerajaan yang didirikan oleh Raden Patah ini pada awalnya adalah sebuah wilayah dengan nama Glagah atau Bintoro yang berada di bawah kekuasaan Majapahit. Majapahit mengalami kemunduran pada akhir abad ke-15. Kemunduran ini memberi peluang bagi Demak untuk berkembang menjadi kota besar dan pusat perdagangan. Dengan bantuan para ulama Walisongo, Demak berkembang menjadi pusat penyebaran agama Islam di Jawa dan wilayah timur Nusantara.
         Sebagai kerajaan, Demak diperintah silih berganti oleh raja-raja. Demak didirikan oleh Raden Patah (1500-1518) yang bergelar Sultan Alam Akhbar al Fatah. Raden Patah sebenarnya adalah Pangeran Jimbun, putra raja Majapahit. Pada masa pemerintahannya, Demak berkembang pesat. Daerah kekuasaannya meliputi daerah Demak sendiri, Semarang, Tegal, Jepara dan sekitarnya, dan cukup berpengaruh di Palembang dan Jambi di Sumatera, serta beberapa wilayah di Kalimantan. Karena memiliki bandar-bandar penting seperti Jepara, Tuban, Sedayu, Gresik, Raden Patah memperkuat armada lautnya sehingga Demak berkembang menjadi negara maritim yang kuat. Dengan kekuatannya itu, Demak mencoba menyerang Portugis yang pada saat itu menguasai Malaka. Demak membantu Malaka karena kepentingan Demak turut terganggu dengan hadirnya Portugis di Malaka. Namun, serangan itu gagal.
         Raden Patah kemudian digantikan oleh Adipati Unus (1518-1521). Walau ia tidak memerintah lama, tetapi namanya cukup terkenal sebagai panglima perang yang berani.
          Ia berusaha membendung pengaruh Portugis jangan sampai meluas ke Jawa. Karena mati muda, Adipati Unus kemudian digantikan oleh adiknya, Sultan Trenggono (1521-1546). Di bawah pemerintahannya, Demak mengalami masa kejayaan. Trenggono berhasil membawa Demak memperluas wilayah kekuasaannya. Pada tahun 1522, pasukan Demak di bawah pimpinan Fatahillah menyerang Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon.
        Sepeninggal Sultan Trenggono, Demak mengalami kemunduran. Terjadi perebutan kekuasaan antara Pangeran Sekar Sedolepen, saudara Sultan Trenggono yang seharusnya menjadi raja dan Sunan Prawoto, putra sulung Sultan Trenggono. Sunan Prawoto kemudian dikalahkan oleh Arya Penangsang, anak Pengeran Sekar Sedolepen.
          Namun, Arya Penangsang pun kemudian dibunuh oleh Joko Tingkir, menantu Sultan Trenggono yang menjadi Adipati di Pajang. Joko Tingkir (1549-1587) yang kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya memindahkan pusat Kerajaan Demak ke Pajang.Kerajaannya kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Pajang.
         Sultan Hadiwijaya kemudian membalas jasa para pembantunya yang telah berjasa dalam pertempuran melawan Arya Penangsang. Mereka adalah Ki Ageng Pemanahan menerima hadiah berupa tanah di daerah Mataram (Alas Mentaok), Ki Penjawi dihadiahi wilayah di daerah Pati, dan keduanya sekaligus diangkat sebagai bupati di daerahnya masing-masing. Bupati Surabaya yang banyak berjasa menundukkan daerah-daerah di Jawa Timur diangkat sebagai wakil raja dengan daerah kekuasaan Sedayu, Gresik, Surabaya, dan Panarukan.
          Ketika Sultan Hadiwijaya meninggal, beliau digantikan oleh putranya Sultan Benowo. Pada masa pemerintahannya, Arya Pangiri, anak dari Sultan Prawoto melakukan pemberontakan. Namun, pemberontakan tersebut dapat dipadamkan oleh Pangeran Benowo dengan bantuan Sutawijaya, anak angkat Sultan Hadiwijaya. Tahta Kerajaan Pajang kemudian diserahkan Pangeran Benowo kepada Sutawijaya. Sutawijaya kemudian memindahkan pusat Kerajaan Pajang ke Mataram.
          Di bidang keagamaan, Raden Patah dan dibantu para wali, Demak tampil sebagai pusat penyebaran Islam. Raden Patah kemudian membangun sebuah masjid yang megah, yaitu Masjid Demak.
              Dalam bidang perekonomian, Demak merupakan pelabuhan transito (penghubung) yang penting. Sebagai pusat perdagangan Demak memiliki pelabuhan-pelabuhan penting, seperti Jepara, Tuban, Sedayu, Gresik. Bandar-bandar tersebut menjadi penghubung daerah penghasil rempah-rempah dan pembelinya. Demak juga memiliki penghasilan besar dari hasil pertaniannya yang cukup besar. Akibatnya, perekonomian Demak berkembang degan pesat.
Di Tanah Melayu penyebaran agama Islam amat unik. Ia berlaku tanpa sebarang pertumpahan darah. Kemasukan Islam di Tanah Melayu bermula selepas Parameswara Raja Melaka memeluk Islam dalam abad ke 15. Pengislaman Parameswara tidak mempunyai hubung kait dengan kekayaan yang dimiliki oleh pedagang-pedagang Islam yang berurusan di Melaka. Malah ketika itu pedagang dari India, China dan Eropah juga turut berurusan di perairan Melaka.

Cuba anda bayangkan bagaimana usaha dakwah yang dilakukan oleh mubaligh Islam ketika itu untuk mengislamkan seorang raja yang berkuasa dan berpengaruh. Menukar agama bukan semudah penukaran barang dagangan atau pakaian sutera yang tersarung di badan. Penukaran agama lama kepada agama baru melibatkan pengorbanan ke arah pengabdian spiritual dan fizikal yang amat berat dan sukar. Namun pendakwah-pendakwah Islam yang datang dari Arab, Parsi, India dan China ketika itu berjaya mengislamamkan raja Melaka. Rahsia pengislaman Parameswara adalah dikaitkan dengan keindahan akhlak yang ditunjukkan oleh orang-orang Islam ketika berurusan di pelabuhan Melaka. Amanah, berbudi pekerti, menepati janji serta bersopan santun sebagaimana yang dianjurkan Islam dipratik secara zahir dan batin oleh pedagang-pedagang Islam ketika itu.

Dikisahkan sebelum Parameswara memeluk Islam, pada suatu hari, baginda telah melihat perlakuan sekumpulan pedagang-pedagang Islam yang sedang sembahyang berjamaah. Baginda kagum melihat mereka yang bersembahyang itu kerana terdiri dari pelbagai bangsa seperti Arab, Parsi, India dan China melakukan perlakuan yang sama dengan diketuai oleh seorang imam.

Selepas tamat bersembahyang mereka berjabat salam tanpa membezakan negara yang mereka datang serta warna kulit yang mereka miliki. Mereka juga saling berpelukan dan beramah mesra bagaikan bersaudara sedangkan mereka baru pertama kali bertemu.

Raja Parameswara bertanya kepada pembesar dan hulubalang-hulubalang yang mengiringi beliau,“Pernahkah kamu berurus dagang dengan mereka?”

Shahbandar yang turut mengiringi baginda berkata,“Amat mudah apabila berurusan dengan mereka, mereka sentiasa beramah mesra dan tidak menipu, apabila berjanji mereka tepati, apabila berhutang mereka tidak mengenakan bayaran yang tinggi dan mereka juga murah hati dan mudah memberi.”

Parameswara bertanya lagi,“Apakah nama tuhan yang mereka sembah itu dan apakah nama agama mereka.” Seorang hulubalang yang telah memeluk Islam menjawab,“Tuhan mereka dipanggil ALLAH dan agama mereka disebut ISLAM.” Lalu baginda bertitah kepada seorang pembesarnya,“Titahkan ketua di antara mereka itu menemui beta.” Parameswara dikatakan memeluk agama Islam selepas peristiwa tersebut.

Sebagai seorang raja, baginda menyedari sekiranya diri beliau dan seluruh rakyat baginda memiliki akhlak dan keperibadian sebagaimana yang ditunjukkan oleh pedagang-pedagang Islam tersebut nescaya negeri Melaka akan menjadi aman, makmur dan sejahtera. Tidak akan berlaku rasuah, terhapus segala kemiskinan, golongan kaya akan bermurah hati membantu yang miskin, rakyat akan bersatu padu, jenayah akan dibasmi dan pemerintahan baginda akan dihormati dan disegani.

Tiada ulasan: